Sehinggadari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu: 1) Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim (yurisprudensi). Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Selain itu, sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum juga hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi sehingga penuntut umum harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya atau diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan di luar persidangan. Isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis tersebut adalah ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang bersifat ringan di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia. Keywords penyelesaian; perkara; pidana Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 1 ANALISIS PERBANDINGAN KEBIJAKAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PERSIDANGAN DI BELANDA, INGGRIS, DAN INDONESIA Ahmad Hajar Zunaidi 1*, Mokhammad Najih 21* Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Indonesia, ahmadhajar_1979 2 Law Faculty, University of Muhammadiyah Malang, Malang, Indonesia najih Abstrak Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Selain itu, sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum juga hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi sehingga penuntut umum harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya atau diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan di luar persidangan. Isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis tersebut adalah ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana yang bersifat ringan di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia. Kata Kunci Penyelesaian; Perkara; Pidana. I. PENDAHULUAN1Persoalan ironi keadilan, yang sering dinyatakan dengan kalimat bahwa hukum tumpul ke atas namun sangat tajam ke bawah, bukan hanya terkait disparitas sanksi pidana yang dijatuhkan yakni pelaku tindak pidana yang bersifat ringan dipidana dengan sangat berat, sedangkan pelaku tindak pidana yang berat dipidana dengan pidana yang ringan, namun juga terkait proses penyelesaian perkara tersebut. Tindak pidana yang bersifat ringan harus diselesaikan dengan mekanisme yang sama seperti tindak pidana yang berat, adalah salah satu bentuk ironi keadilan. Untuk 1mengurangi persoalan ironi keadilan tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan untuk perkara-perkara yang bersifat ringan. Pertimbangan lain urgensi pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah karena sistem peradilan pidana di setiap negara secara umum hanya mampu memproses sebagian kecil dari seluruh tindak pidana yang terjadi UN Office on Drugs and Crime, 2007. Jika suatu negara menyelidiki, menuntut, mengadili, dan menghukum seluruh pelaku tindak pidana, maka setiap tahap dari sistem peradilan pidana tidak akan mampu . pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 2 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr atau memproses seluruh tindak pidana yang terjadi tersebut UN Office on Drugs and Crime, 2007. Oleh karena itu, polisi dan penuntut umum yang akan membawa masuk pelaku tindak pidana ke dalam sistem peradilan pidana, harus melaksanakan diskresi dalam memutuskan perkara mana yang akan dilanjutkan atau dihentikan penuntutannya UN Office on Drugs and Crime, 2007. Jika dilanjutkan penuntutannya, perkara mana yang sanksi pidananya akan dijatuhkan melalui tahap persidangan judicial sanctions dan perkara mana yang sanksi pidananya tidak harus melalui tahap persidangan extrajudicial sanctions. Solusi sistematis terhadap persoalan ironi keadilan tersebut adalah pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang pelaksanaannya bertumpu pada pengaturan diskresi penuntutannya oleh jaksa / penuntut umum. Oleh karena itu isu hukum yang dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris. Hasil dari analisis terhadap ratio legis pengaturan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut, diharapkan dapat memberikan suatu preskripsi berupa visi dan arah kebijakan baru pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dalam sistem hukum pidana Indonesia. II. METODE PENELITIAN Jenis Penilitan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian Hukum Normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif yaitu suatu proses dimana proses tersebut bertujuan untuk menemukan sutu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi Peter Mahmud Marzuki, 2009. Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian normatif karena peneliti berharap dapat memberikan atau menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai deskripsi dari penyelesaian isu hukum yang telah diambil. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian hukum harus dilakukan dalam melakukan penelitian, hal itu bertujuan untuk membantu peneliti dalam mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicari jawabannya. Oleh karena itu maka penulis dalam hal ini menggunakan 3 pendekatan, yaitu a. pendekatan Undang-undang, yaitu dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani atau pendekatan ini juga bisa disebut dengan pendekatan menggunakan legislasi dan regulasi Peter Mahmud Marzuki, 2009. b. Pendektan konseptuan, pendekatan ini akan mempelajari dari segi undang-undang, doktrin-doktrin didalam ilmu hukum serta meliha konsep-konsep Good Corporate Govermance yang terdapat dari berbagai literatur sehingga penelita akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi Peter Mahmud Marzuki, 2009. c. Pendekatan filosofis atau filsafat, pendekatan ini bukan bertujuan untuk menjawab dari permasalahan yang ada, tetapi lebih menuju ke menemukan permasalahan Karena sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Pendekatan filsafat ini akan lebih membentuk Fundamental Research, yaitu dalam penelitian ini akan lebih memperoleh pemahaman yang lebih terhadap implikasi sosial dan dampak dari penerapan suatu undang-undang terhadap masyarakat atau suatu kelompok masyarakat yang didalam penelitian berkaitan dengan sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi dan juga implikasi sosial serta potik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum yang ada. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini peniliti menggunakan 3 jenis sumber bahan hukum, yaitu a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, dimana bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam membuat P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 3 perundang-undangan dan putusan-putusan hakim jika dibutuhkan Peter Mahmud Marzuki, 2009. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, biasanya berupa buku-buku hukum atau referensi-refensi, jurnal-jurnal, karya tulis ilmiah, internet bahkan juga surat media masa yang keseluruhannya terkait dengan isu hukum yang ada Peter Mahmud Marzuki, 2009. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier juga merupakan bahan hukum yang juga harus dapat menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum ini dibutuhkan untuk menunjang bahan hukum lainnya. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan sekunder mapun bahan hukum tersier. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah, membaca, mencatat segala hal-hal yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dibahas selain itu juga membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang terkait. Metode pengumpulan bahan hukum ini juga dapat dilakukan dengan cara documenter, yaitu dikumpulkannya referensi dari berbagai sumber baik jurnal, makalah, penelitian, buku-buku, Koran, majalah, internet dll terkait segala hal yang berkaitan dengan isu hukum yang diangkat. Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, hal pertama yang harus perlu dilakukan pula yaitu mencari dan mengumpulkan peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang di bahas Peter Mahmud Marzuki, 2009. Selain itu wawancara juga dapat dilakukan, hal ini bertujuan untuk menunjang tknik dokumenter dan memperoleh bahan hukum untuk menjawab isu hukum yang terjadi. Semua bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dalam penlitian ini digunakan metode pengolahan dengan cara editing, yaitu dengan cara memeriksa kembali bahan-bahan hukum yang diperoleh baik dari segi kelengkapannya, kesesuaian, kejelasan, serta relevansinya dengan bahan hukum yang lain Saifullah, 2004. Metode Analisis Bahan Hukum Peneliti dalam menganalisa bahan hukum yang ada dengan cara mengklasifikasikan bahan-bahan hukum yang ada agar mudah dianalisis dan dikonstruksikan. Dalam hal ini karena jenis penelitian berupa penelitian normatif maka maka sistem analisisnya dengan cara diskriptif kualitatif yang merupakan analisa data-data yang tidak bisa dihitung. Kemudian bahan hukum yang sudah diperoleh kemudian dikelompokkan, diperiksa dan kemudian dilakukan pembahasan. Setelah itu bahan hukum kemudian akan di interpretasikan dengan metode interprertasi sistematis, gramatikal dan teleologis Asshiddiqie, 1996. III. HASIL DAN DISKUSI Persoalan mendasar yang harus diselesaikan dalam setiap sistem peradilan pidana adalah bagaimana mengatur bentuk diskresi tersebut dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Sebagai gambaran bagaimana Belanda dan Inggris yang telah lama mengembangkan model-model diskresi kewenangan penuntutannya guna dibandingkan dengan di Indonesia, berikut ini ditunjukan model-model diskresi kewenangan penuntutan di Belanda dan Inggris sebagai berikut Belanda Belanda sebagai salah satu negara dengan tradisi European Civil Law dan menggunakan sistem penuntutan inquisitorial, memandang proses peradilan pidana sebagai proses yang harus dilakukan secara sah untuk menemukan kebenaran secara rasional dan tidak berpihak Luna & Wade, 2010. Oleh karena itu, Sistem hukum dipandang sebagai suatu instrumen rasional yang menerapkan metode ilmiah untuk menemukan kebenaran dan keadilan, sehingga hukum adalah science karena merupakan produk dari keputusan yang rasional yang dapat menghadirkan kebenaran dan memberikan keadilan melalui logika dan analisis yang seimbang Luna & Wade, 2010. Konsekuensi sistem penuntutan inquisitorial yang dianutnya, maka penuntut umum di Belanda memiliki pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 4 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr kuat dan dominan dalam setiap tahap proses pidana Crijns, 2011. Penuntut umum juga memiliki wewenang memerintahkan kepada polisi beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap penyidikan, dan penuntut umum juga berwenang untuk meneruskan atau tidak meneruskan kasus tersebut ke pengadilan Crijns, 2011. Asas-asas yang menjadi dasar diskresi kewenangan penuntutan tersebut adalah asas expediency yakni penuntut umum dapat tidak meneruskan penuntutan suatu perkara ketika kesalahan pelaku tersebut masih termasuk tindak pidana minor dan apabila peradilan tetap dilanjutkan justru tidak dapat memenuhi kepentingan public Luna & Wade, 2010. Selain asas expediency, dasar dikresi penuntutan yang lain adalah asas oportunitas opportuniteitsbeginsel, yang artinya penuntut umum tidak diwajibkan untuk selalu membawa suatu kasus ke pengadilan, ia juga boleh menyelesaikan suatu kasus atas kewenangannya sendiri atau memutuskan untuk menghentikan penuntutan kasus tersebut Crijns, 2011. Diskresi kewenangan penuntutan di Belanda diatur dalam hukum pidana materiil yakni Wetbook van Strafrecht Sr dan dalam hukum pidana formil yakni Wetbook van Strafvordering Sv. Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dengan tanpa syarat tertentu onvoorwardelijk sepot, Pasal 167 ayat 2 Sv. dan Pasal 242 ayat 2 Sv., maupun dengan syarat tertentu voorwardelijk sepot Pasal 167 ayat 2 Sv., Pasal 257 a-h Sv. . Sedangkan mekanisme penghentian penuntutan dengan syarat-syarat tertentu biasa dikenal dengan transaksi Pasal 74- 74c Sr.. Lebih dari 30% perkara pidana di Belanda diselesaikan dengan mekanisme transaksi ini Kempen, 2009. Di Belanda terdapat beberapa metode alternatif dari penuntutan yang bisa digunakan oleh penuntut umum, namun ada tiga metode yang sangat sering digunakan yakni non-prosecution, transaksi, dan penal order yang akan dibahas sebagai berikut a. Non-prosecution Non Prosecution artinya penuntut umum dapat memutuskan tidak melakukan penuntutan dalam hal jika dilakukan penuntutan mungkin tidak menghasilkan adanya hukuman bagi terdakwa, baik karena kurangnya alat bukti atau alasan teknis lainnya penghentian penuntutan karena alasan teknis atau prosedural Tak, 2006. Penuntut umum juga dapat tidak melakukan penuntutan berdasarkan asas kelayakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 167 Sv. menentukan bahwa “penuntut umum harus memutuskan untuk melakukan penuntutan jika penuntutan dinilai penting berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan dapat dihentikan berdasarkan kepentingan publik”Tak, 2006. Penuntut umum dapat menunda dilakukannya penuntutan secara bersyarat dalam kasus-kasus tertentu. Penundaan penuntutan terhadap suatu kasus tidak ada dasarnya dalam undang-undang di Belanda, oleh karena itu secara teoretis membingungkan, tapi secara umum penundaan penuntutan tersebut bisa diterima. Syarat-syarat umum atau syarat-syarat khusus dilakukannya penundaan penuntutan tidak pernah ada, tapi dalam praktek penuntut umum menggunakan syarat-syarat yang sama seperti syarat-syarat yang dipergunakan oleh hakim ketika menjatuhkan penundaan hukuman Tak, 2006. Broad of Prosecutors-General menerbitkan panduan penuntutan nasional untuk mengharmoniskan penggunaan diskresi kewenangan penuntutan tersebut. Seluruh penuntut umum di Belanda diperintahkan mengikuti panduan tersebut, kecuali ada situasi dan kondisi tertentu dalam suatu kasus tertentu. Berdasarkan panduan tersebut, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu kasus dengan pertimbangan kepentingan umum, jika antara lain sebagai berikut Tak, 2003 1 Dapat diyakini bahwa tindakan lain yang bukan sanksi pidana telah cukup untuk diterapkan atau akan lebih efektif misalkan sanksi disiplin, administrasi, atau sanksi perdata lainnya. 2 Penuntutan terhadap tindak pidana itu dinilai tidak proporsional, tidak adil, atau tidak efektif terhadap kejahatan tersebut misalkan kejahatan itu tidak menimbulkan bahaya dan tidak layak untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadapnya. 3 Penuntutan terhadap tindak pidana itu dinilai tidak proporsional, tidak adil, atau tidak efektif dengan pertimbangan melihat kondisi pelakunya misalkan kondisi usia dan kesehatan pelaku, prospek rehabilitasi, pelaku pertama kali. 4 Penuntutan tersebut bisa bertentangan dengan kepentingan negara, misalkan dengan P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 5 pertimbangan keamanan, kedamaian, dan ketertiban, atau jika penerapan hasil legislasi baru diperkenalkan. 5 Jika penuntutan dilakukan akan menjadi bertentangan dengan kepentingan korban misalkan kompensasi atau ganti rugi telah dibayarkan. Sedangkan penghentian penuntutan karena alasan teknis dapat disampaikan antara lain Tak, 2003 a Kesalahan dalam registrasi tersangka oleh Kepolisian. b Kekurangan alat bukti untuk melakukan penuntutan. c Adanya larangan untuk adanya suatu penuntutan. d Pengadilan tidak memiliki kompetensi hukum untuk mengadili perkara ini. e Perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang. f Pelaku tidak harus bertanggungjawab secara pidana karena adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf. Isu selanjutnya, terkait siapa yang seharusnya berwenang merumuskan kebijakan penuntutan. Isu ini sangat penting dalam konteks hubungan antara Eksekutif dan Organ Penuntutan. Ashworth menyampaikan bahwa yang berwenang adalah pihak yang memerankan quasi-judicial yakni kewenangan penuntut umum untuk secara independen mengambil keputusannya Tak, 2003. b. TransactionSejarah lahirnya wet tot vereenvoudiging van de rechtspleging in lichte stafzaken Undang-undang penyederhaan penyelenggaraan pemeriksaan pengadilan untuk kasus-kasus pidana ringan tanggal 5 Juli 1921, menunjukan bahwa pada masa itu, pemerintah Belanda sedang mengalami persoalan dengan peningkatan perkara yang masuk untuk diproses di pengadilan, sehingga terbit ketentuan lama Pasal 74 Sr. Pasal 82 KUHP tentang transaksi, yang mensyaratkan bahwa dengan membayar denda maksimum maka terdakwa dapat terhindar dari tuntutan hukum Remmelink, 2003. Pada tanggal 1 Mei 1983 kewenangan transaksi mengalami perluasan melalui Wet vermogenssancties Undang-Undang Negara Belanda tentang Sanksi terhadap Harta Benda Terpidana, sehingga jaksa/penuntut umum dapat menerapkan syarat-syarat sebagai imbalan penghentian penuntutan hukum tidak hanya untuk semua tindak pelanggaran, namun juga untuk kejahatan-kejahatan, terkecuali yang diancamkan pidana penjara lebih dari enam tahun Remmelink, 2003. Transaksi dapat dipahami sebagai salah satu bentuk diskresi kewenangan penuntutan yakni dengan cara jika terdakwa secara sukarela membayar sejumlah uang kepada kas negara atau memenuhi satu atau lebih persyaratan yang diajukan oleh penuntut umum dengan maksud menghindarkan penuntutan pidana lebih lanjut dan peradilan yang terbuka untuk umum Tak, 2006. Diterimanya tawaran transaksi dari penuntut umum sebenarnya menguntungkan terdakwa, karena ia terhindar dari peradilan yang terbuka untuk umum, dan transaksi tidak dicatat oleh pengadilan dalam catatan kriminal, dan ia tidak lama dalam situasi ketidakpastian tentang hukuman yang akan diterimanya. Pada sisi lain, dengan menerima transaksi maka terdakwa melepaskan hak-haknya untuk dihukum berdasarkan pengadilan yang bebas yang dijamin oleh Undang-Undang, Pasal 6 European Concention of Human Rights / ECHR Tak, 2006. Pasal 74 ayat 1 Sr. mewajibkan jaksa untuk melakukan penawaran transaksi sebelum dimulainya persidangan untuk perkara-perkara yang memenuhi syarat tertentu dapat diselesaikan melalui mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces. Pasal 74 ayat 2 Sr. menguraikan syarat-syarat tertentu yang dapat diajukan oleh jaksa dalam penawaran transaksi tersebut. Pasal 74 ayat 3 Sr. menentukan kewajiban jaksa untuk menyampaikan informasi kepada pihak yang berkepentingan kepada korban misalkan tentang tanggal batas waktu dipenuhinya syarat-syarat transaksi tersebut. Selanjutnya Pasal 74a Sr. menegaskan bahwa terdakwa memiliki hak untuk menghapuskan kewenangan penuntutan jaksa dengan membayar sejumlah denda dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Pasal 74b Sr, mengatur bahwa jika dalam waktu sebelum tiga bulan dari diterimanya kesepakatan transaksi oleh terdakwa, kemudian pengadilan memerintahkan agar dibuka kembali perkara itu untuk dilakukan proses penuntutan misalkan atas dasar pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 6 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr korban, maka proses penuntutan harus dilaksanakan. Akan tetapi mekanisme ini hanya berlaku untuk kejahatan. Terakhir Pasal 74c Sr. memberikan kewenangan transaksi oleh polisi atau penyidik khusus lainnya dengan batasan-batasan tertentu. Perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam praktek penegakan hukum pidana di Belanda, dapat dipenuhi antara lain dengan bekerjanya mekanisme afdoening buiten proces ini dengan cukup luas, sehingga untuk tindak-tindak pidana yang bersifat ringan mayoritas diselesaikan dengan mekanisme tersebut. Perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan terwujud dengan jelas dari bunyi ketentuan Pasal 74 ayat 1 Sr. yang secara tegas menyebutkan bahwa jaksa/penuntut umum harus mengajukan penawaran sebelum dimulainya sidang perkara yang bersangkutan. Namun hal ini tidak sekaligus menutup kemungkinan tersangka yang melihat bahwa terhadapnya tidak diajukan transaksi, dapat mengajukan permohonan untuk itu terhadap jaksa/penuntut umum Tak, 2006. Persetujuan consent yang diberikan tersangka terhadap penawaran transaksi dari penuntut umum adalah bentuk informed consent karena tersangka telah memahami betul akibat atau dampak dari pilihannya untuk menerima atau menolak tawaran transaksi, dan tersangka juga berada pada posisi yang bebas memilih, tidak boleh ada paksaan atau tekanan dari penuntut umum. Dengan demikian, kritik terhadap mekanisme transaksi dari aspek asas praduga tidak bersalah menjadi sangat lemah dan tidak relevan lagi Albrecht, 2001. c. Penal OrderBerdasarkan amandemen terhadap Wetbook van Strafvordering / Sv. KUHAP Belanda yakni dengan menambahkannya Bab IVA, maka “prosecution through penal orders” yang diatur dalam Pasal 257 a – h Sv. mulai berlaku pada tahun 2008. Selain itu, Pasal 12 Sv. juga diamandemen untuk membuka peluang pihak yang dirugikan agar bisa mengajukan keberatan kepada pengadilan banding dan meminta kasus dibuka Kembali penuntutannya di pengadilan Brants-Langeraar, 2007. Penghentian penuntutan dengan syarat-syarat tertentu dan mekanisme transaksi akan dihapuskan. Tidak lagi mengarahkan pada tercapainya “kesepakatan”, penuntut umum harus menyampaikan kepada tersangka satu atau beberapa “perintah pidana” penal orders atau OM afdoening door strafbeschikking, gambaran tindak pidananya, dan rencana usulan pembayaran denda. Sebelum melakukan hal tersebut, penuntut umum harus “membuktikan kesalahan” tersangka, walaupun pengakuan tersangka atas kesalahannya tidak penting. Denda lebih dari € dan pengenaan pidana kerja sosial disampaikan penuntut umum kepada tersangka untuk mendengar tanggapannya Brants-Langeraar, 2007. Perintah dari penuntut umum tersebut memiliki status hukum sama seperti putusan oleh pengadilan Kempen, 2009. Penuntut umum dapat mengajukan beberapa perintah berikut ini kerja sosial taakstraf dengan maksimum 180 jam, denda boete, pengasingan dari masyarakat onttrekking aan het verkeer, pembayaran kepada negara untuk korban, dan pencabutan surat ijin mengemudi ontzegging van de rijbevoegdheid. Penuntut umum tidak berwenang memerintahkan pidana penjara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 257a Sv Kempen, 2009. Tersangka dapat menolak perintah pidana dari penuntut umum tersebut, dengan mengajukan keberatan kepada pengadilan distrik, yang kemudian akan mendengar kasus tersebut secara keseluruhan; jika tersangka tidak mengajukan keberatan tersebut dalam waktu dua minggu, maka perintah tersebut dapat dilaksanakan secepatnya Brants-Langeraar, 2007. Dengan diberikannya hak kepada tersangka untuk menerima atau menolak perintah pidana dari penuntut umum tersebut, maka dinyatakan bahwa hak tersangka untuk mendapatkan peradilan yang independen dan tidak memihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 European Convention of Human Rights ECHR, telah dipenuhi Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme Perintah pidana tersebut dapat diterbitkan untuk tindak pidana-tindak pidana yang sejenis dapat diselesaikan dengan mekanisme P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 7 transaksi, dan syarat-syarat serta pidana yang diperintahkan dalam praktek juga bisa sama persis dengan syarat-syarat yang diajukan pada mekanisme transaksi Jacobs & Kampen, 2014. Penuntut umum sekarang memiliki satu tindakan baru yang dapat digunakan terhadap tersangka, yakni penyitaan Surat Ijin Mengemudi tersangka untuk waktu paling lama enam bulan, polisi juga dapat menerbitkan perintah pidana denda maksimum €225,- Pasal 257 b Sv. Jacobs & Kampen, 2014. Dalam pembahasan di Parlemen rancangan amandemen Pasal 257 Sv. tersebut, Menteri Kehakiman Belanda Minister of Justice menyampaikan bahwa daripada menerapkan mekanisme plea bargaining, lebih tepat bila diperkenalkan sebuah sistem yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk mengenakan denda dalam bentuk perintah pidana Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme perintah pidana oleh penuntut umum tersebut akan mampu menangkap burung dengan satu batu pengadilan menjadi tidak terbebani dan akan ada pemidanaan yang lebih riil. Lebih lanjut lagi, akan mampu memecahkan persoalan terdakwa yang telah menerima mekanisme transaksi tapi masih belum juga membayar jumlahnya sekitar 25% ; karena transaksi meskipun secara substantif adalah denda, tapi secara formal kesepakatan tersebut tunduk pada hukum sipil, ketidakpatuhan terhadap kesepakatan transaksi akan dipecahkan dengan penuntutan itu sendiri atau dengan melalui mekanisme hukum perdata yang rumit Jacobs & Kampen, 2014. Dengan adanya sistem baru tersebut, pengenaan tuntutan denda adalah bagian dari proses penuntutan, dan denda itu sendiri adalah sebuah sanksi pidana, artinya penuntut umum dapat melaksanakan denda itu secara langsung Jacobs & Kampen, 2014. Mekanisme penal order juga tidak sempurna, banyak kritik yang disampaikan oleh para ahli. Dalam mekanisme penal order tidak dikenal adanya negosiasi sebelum diterbitkannya perintah tersebut, sehingga posisi tersangka adalah terjepit harus memilih menerima perintah tersebut atau menjalani proses persidangan. Dengan menerima perintah pidana tersebut, dapat diasumsikan tersangka telah bersalah, sedangkan jika memilih proses persidangan yang rumit dan lambat maka ia harus melawan rasa malu dan stigma negatif dari proses peradilan pidana. Oleh karena itu, mekanisme penal order sedikit banyak telah bertentangan dengan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocent Jacobs & Kampen, 2014. Selain itu, dengan diberikannya kewenangan penuntut umum untuk mengeluarkan perintah pidana, maka akan terbentuk suatu badan penuntut umum yang memiliki kewenangan penuntutan, “mengadili”, dan pelaksanaan pemidanaan, seperti pada sistem peradilan pidana masa lampau yang telah lama hilang. Oleh karenanya, tidak ada kontrol external judisial yang mengatur situasi ketika perintah pidana tersebut dilaksanakan Jacobs & Kampen, 2014. Selain itu, semakin berat pula beban penuntut umum untuk bertindak jujur, transparan, tidak memihak. Menurut J. F. Nijboer, manfaat yang dapat dirasakan oleh negara Belanda, yang menerapkan mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces secara meluas dalam hukum acara pidananya, sehingga hukum pidana seringkali dipandang dan digunakan sesuai asas subsidiaritas – hukum pidana sebagai ultimum remedium, adalah sebagai berikut 1. Semakin berkurangnya perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana. 2. Menurunnya frekuensi penggunaan pidana penjara. 3. Lebih pendeknya masa pidana penjara, yang mencerminkan adanya kebijakan pemidanaan yang berbeda atau praktek yang berbeda dari negara lain terkait pembebasan terpidana sebelum masa pemidanaan selesai.Nijboer, 1999 Hasil akhir dari semakin berkurangnya perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana, menurunnya frekuensi penggunaan pidana penjara, dan diperpendeknya masa pidana penjara adalah semakin berkurangnya penghuni penjara di Belanda. Hal itu merupakan fakta yang kontras dengan apa yang terjadi negara-negara Eropa lainnya. D. Downes mempublikasikan hasil penelitian yang sangat menarik pada tahun 1988, yang membandingkan kebijakan pidana di Inggris dan Wales di satu sisi dengan di Belanda pada sisi lain Nijboer, 1999. Berdasarkan data yang dipublikasikan Downes tersebut, terdapat perbedaan yang menyolok dalam angka rata-rata penggunaan pidana penjara antar negara-negara pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 8 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr Perbedaan tersebut semakin menyolok, dengan melihat pertentangan latar belakang yang pararel dengan meningkatnya angka kejahatan di kedua negara tersebut, artinya meskipun di Belanda angka kejahatan yang dilaporkan meningkat, hal yang sama juga terjadi di Inggris dan Wales, namun persentase perbandingan jumlah penghuni penjara dengan jumlah penduduk di Belanda tidak mengalami kenaikan secara signifikan Nijboer, 1999. Sedangkan di Inggris dan Wales, persentase perbandingan jumlah penghuni penjara dengan jumlah penduduk juga mengalami kenaikan secara signifikan seiring meningkatnya angka kejahatan yang dilaporkan. Meskipun terdapat beberapa indikasi yang menunjukan menurunnya kebijakan toleransi pemerintah Belanda terhadap kejahatan, namun negara ini tetap dinilai sebagai satu-satunya negara yang paling lembut reaksinya terhadap fenomena sosial yang disebut dengan kriminalitas Nijboer, 1999. Berdasarkan uraian kebijakan pengaturan diskresi kewenangan penuntutan di Belanda tersebut, maka terlihat adanya konsistensi tujuan sistem penuntutan inquisitorial yakni untuk menemukan kebenaran dan memberikan keadilan secara rasional, logis, dan analisis yang seimbang, dengan hasilnya yakni jaminan kelayakan penuntutan dan pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku dan tindak pidananya, bukan hanya memaksimalkan jumlah pemidanaan, dan kenyataan semakin bertambahnya beban penanganan perkara dan keterbatasan sistem peradilan pidana, baik kurangnya sumberdaya manusia maupun anggaran negara. Oleh karena itu, pengaturan diskresi kewenangan penuntutan di Belanda memberikan kesempatan bagi penuntut umum untuk memutuskan secara rasional, logis, dan analisis yang seimbang dalam setiap perkara yang ditangani melalui beragam bentuk pilihan metode penuntutan non prosecution, transaction, atau penal order yang sesuai asas kelayakan baik terhadap pelaku maupun tindak pidananya. Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia yang masih sangat kaku, baik pada level peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan penuntutan yang masih mengejar jumlah penanganan perkara dan rata-rata pemidanaan, yang justru dampaknya semakin membebani sistem peradilan pidana. Berdasarkan rangkaian perubahan pertimbangan kebijakan pidana di Belanda berupa non prosecution, transaction dalam Pasal 74 Sr. dan dalam wet vermogensancties undang-undang tentang Sanksi Terhadap Harta Benda, dan penal order dalam revisi Wet Book van Strafvordering sehingga menghasilkan Pasal 257 a - h Sv. tersebut, maka telah terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan proses peradilan pidana dengan menerapkan asas kelayakan yakni penuntut umum harus memperhatikan faktor kepentingan publik dalam memutuskan untuk melakukan penuntutan dan memilih mekanisme penuntutan yang layak dengan kesalahan pelaku. Manfaat penerapan asas kelayakan berupa penyederhanaan sistem peradilan pidana tersebut adalah menjadi lebih efektifnya sistem peradilan pidana. Penyederhanaan sistem peradilan pidana sangat dibutuhkan dalam keadaan munculnya berbagai persoalan terkait peningkatan jumlah dan kualitas perkara yang masuk untuk diproses di pengadilan, sehingga pengadilan tidak terbebani dengan perkara-perkara minor dan tetap ada pemidanaan yang riil dan layak dengan kesalahan dalam tindak pidana minor, dan sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. Inggris dan Wales Berbeda dari Belanda dengan sistem penuntutan inquisitorial, Inggris dan Wales adalah negara-negara dengan sistem penuntutan adversarial sebagaimana dalam tradisi hukum common law yang menerima asas kelayakan dan asas oportunitas sehingga dasar pelaksanaan diskresi kewenangan penuntutan tidak hanya diberikan kepada penuntut umum ataupun pejabat seniornya, tetapi konsisten di dalam sistem hukumnya. Bahkan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penuntutan, tidak secara eksklusif menjadi tanggungjawab penuntut umum. Banyak sekali keputusan untuk tidak melakukan penuntutan diambil oleh polisi sehingga sulit dilakukan kontrol pengawasannya. Polisi diberikan kewenangan untuk tidak melakukan tindakan lebih lanjut, memberikan peringatan informal, atau peringatan yang tercatat P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 9 tanpa harus memberitahukannya kepada CPS Crown Prosecution ServiceKyprianou, Konsistensi diskresi kewenangan penuntutan dalam sistem hukum di Inggris dapat dilihat pada sejarah sistem penuntutan di Inggirs. Inggris awalnya tidak memiliki lembaga yang khusus berfungsi melakukan penuntutan, penuntutan juga dapat dilakukan oleh individu personal atau privat, sehingga menimbulkan persoalan efisiensi dan kesulitan pembuktian kesalahan dan pemidanaan pelaku, dan seringkali memancing hakim untuk aktif bertindak seperti penuntut umum yang melanggar prinsip judicial impartiality Summers, 2007. Berdasarkan Marian Statutes 1555 dibentuk Justices of the Peace JPs sebagai penuntut umum, yang dipilih oleh Royal Commission untuk setiap daerah dan setiap kota dengan tugas melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan di Inggris Langbein, 1973. Setiap individu JPs juga memiliki tanggungjawab yang sangat penting dalam proses penghentian penyelesaian perkara pidana di luar persidangan, untuk memerintahkan penahanan tersangka, melakukan penuntutan sampai ke persidangan, dan melakukan pembebasan tersangka yang ditahan berdasarkan penundaan persidangan atas jaminan Langbein, 1973. Selain itu, Polisi juga bertanggungjawab terhadap penuntutan suatu perkara yang dapat dilakukannya dengan menunjuk beberapa pengacara lokal yang berpengalaman, sehingga tidak ada keseragaman dan kepastian pengawasan kebijakan penuntutan secara nasional Langer et al., 2016. Baru pada Oktober 1986, Crown Prosecution Service melaksanakan fungsinya untuk melakukan penuntutan di Inggris, sebagai reaksi terhadap rangkaian tindakan oleh Polisi yang mencederai keadilan dalam manipulasi bukti-bukti dan penekanan oleh Polisi, sehingga apabila Polisi akan melakukan penuntutan maka harus diuji dulu oleh CPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 8 Prosecution of Offences Act Tahun 1985 Luna & Wade, 2010. Attorney General dapat menghentikan proses penuntutan yang sedang berjalan yang biasanya diinisiasi oleh pihak pribadi atau privat apabila penuntutan tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan kerajaan dan tidak terlalu penting Krauss, 2012. Kewenangan Attorney General untuk menghentikan penuntutan yang sedang berjalan tersebut merupakan instrumen prosedural yang tidak dapat diuji oleh pengadilan berdasarkan teori the separation of prosecutorial powers bahwa eksekutif memiliki wewenang kontrol terhadap penanganan perkara dan berdasarkan kondisi faktual semakin beratnya beban sistem peradilan pidana sehingga penuntut umum harus memprioritaskan penuntutan antara beberapa perkara Tak, 2006. Oleh karena itu, sistem penuntutan di Inggris menarik untuk dicermati. Tidak seperti sistem penuntutan di negara-negara Eropa Barat lainnya, Crown Prosecution Service berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan Kepolisian, dalam hal penggunaan diskresi kewenangan penuntutan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Padahal sesungguhnya berdasarkan tradisi common law, sistem penuntutan di Inggris dan Wales memberikan ruang yang luas bagi penerapan diskresi kewenangan penuntutan untuk dihentikannya penuntutan suatu kasus dengan alasan kepentingan publik. Diskresi kewenangan penuntutan diatur melalui mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan melalui mekanisme cautioning, reprimands and warning, dan deferred prosecution agreements berikut ini a. Mekanisme cautioning dan reprimands and warningPenuntut umum di Inggris, berwenang menghentikan penuntutan suatu kasus dengan pertimbangan kepentingan publik, tapi penelitian menunjukan bahwa penuntut umum kurang sukses dalam melaksanakan diskresi kewenangannya tersebut. M. Mc Conville, A. Sanders dan Leng Kyprianou, menemukan bahwa CPS jarang menghentikan penuntutan dengan dasar kepentingan publik, tapi saat ini, penghentian penuntutan oleh CPS mulai meningkat, namun seringkali dilakukan untuk kasus yang tidak penting dan sering juga didasarkan atas penghitungan biaya. Hal itu terjadi karena kontrol polisi atas informasi dan konstruksi kasusnya dibangun menjadi benar-benar sulit bagi penuntut umum untuk mengidentifikasi kasus-kasus yang dapat diberikan peringatan saja pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 10 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr 2020.Kyprianou, Beberapa faktor yang dapat ditunjuk sebagai dasar diberikannya peringatan atau tindakan lain pengganti tidak dilakukannya penuntutan lebih lanjut seringkali dihapuskan dalam file, atau fakta-fakta tersebut tidak ditunjukan oleh polisi karena gagalnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dalam tahap penyidikan McConville et al., 1996. Berdasarkan Pasal 23 Criminal Justice Act tahun 2003, syarat-syarat dan kriteria untuk dapat dilaksanakannya diskresi kewenangan penuntutan untuk menuntut atau tidak melakukan penuntutan telah dimodifikasi yakni 1 Penegak hukum jaksa dan polisi memiliki bukti-bukti bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana. 2 Adanya keyakinan penuntut umum bahwa terdapat cukup bukti untuk menuntut terdakwa karena melakukan tindak pidana dan peringatan bersyarat sebelumnya telah diberikan kepada terdakwa terkait tindak pidana yang dilakukannya. 3 Pelaku telah mengakui kepada polisi atau jaksa bahwa ia telah melakukan tindak pidana. 4 Penegak hukum polisi dan jaksa sebelumnya telah menjelaskan pengaruh peringatan bersyaratnya kepada pelaku dan memperingatkan pelaku tentang akibat gagalnya untuk memenuhi segala persyaratan yang dilampirkan dalam peringatan adalah bisa membawa dilakukannya penuntutan terhadap tindak pidananya. 5 Pelaku menandatangani dokumen peringatan yang berisi a. Detail tindak pidananya. b. Pengakuan oleh pelaku bahwa ia telah melakukan tindak pidana tersebut. c. Pelaku setuju untuk diberikan peringatan bersyarat tersebut, dan d. Rincian syarat-syarat yang dilampirkan dalam peringatan tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah untuk menjamin bahwa pelaku benar-benar telah bersalah dan pasti akan dihukum jika dilakukan penuntutan, karena surat peringatan tersebut sebenarnya adalah pengakuan bersalah yang bisa dicatat oleh pengadilan. Mekanisme peringatan ini dipergunakan oleh polisi untuk menyelesaikan hampir 30% dari seluruh kasus yang dilaporkan kepada polisi Tak, 2006. Di Inggris, untuk mengatur penggunaan penyelesaian perkara di luar persidangan, maka Pemerintah Inggris telah menerbitkan Code for Crown Prosecutors tahun 2000 berdasarkan Pasal 10 the Prosecution of Offences Act POA tahun 1985. Code for Crown Prosecutors tersebut menentukan bahwa sebelum melakukan penuntutan, ada dua syarat yang harus dipenuhi yakni terpenuhinya tes pembuktian the evidential test sehingga ada prospek keyakinan terbuktinya dakwaan tersebut secara realistis realistic prospect of conviction, serta penuntutan tersebut hanya boleh dilakukan jika kepentingan publik menghendaki the public interest test. Syarat tes kepentingan publik tersebut meliputi tingat kesalahan pelaku peran dalam keturutsertaan, adanya perencanaan, keadaan bahaya pada korban, dampaknya pada masyarakat. Selain itu, penuntut umum harus memperhatikan apakah penuntutan adalah respon yang layak bagi tindak pidana tersebut yakni penuntutan yang akan dilakukan harus sesuai dengan cara-cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip penanganan perkara yang efektif. Kriteria-kriteria lain untuk dapat diterapkannya mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan adalah berdasarkan the Crime and Disorder Act tahun 1998, yakni polisi dapat menghentikan proses hukum acara pidana lebih lanjut dengan menerbitkan Surat “Peringatan” cautioning terhadap pelaku dewasa, dan Surat “Teguran dan Peringatan” reprimands and warning terhadap pelaku remaja. “Peringatan” terhadap pelaku dewasa tersebut diberikan oleh polisi jika telah ada bukti yang cukup sebagai dasar dilakukannya penuntutan, pelaku mengakui kesalahannya, dan pelaku menyetujui prosedur yang ditetapkan. Selain itu pelakunya juga harus orang yang sudah cukup tua atau lemah, sakit mental, menderita beberapa penyakit fisik, atau menderita beberapa penyakit mental. b. Deffered Prosecution Agreements DPABerdasarkan Crimes & Court Act tahun 2013 yang berlaku sejak Februari 2014, maka penuntut umum dapat menerapkan mekanisme Deffered Prosecution Agreements DPA untuk menyelesaikan perkara suap, korupsi cheating the public revenue, fraud, dan tindak pidana ekonomi lainnya yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum privat, karena mekanisme DPA ini tidak dapat diterapkan kepada subyek hukum orang natural person. Crown Prosecution Service P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 11 CPS dan Serious Fraud Office SFO menerbitkan DPA Code of Practise sebagai pedoman bagi penuntut umum untuk melaksanakan mekanisme DPA tersebut, yang pada intinya bahwa semua sanksi keuangan yang diajukan oleh penuntut umum dalam DPA harus benar-benar dapat diperkirakan sebanding dengan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim saat terdakwa mengakui kesalahannya court conviction guilty plea, bukan sanksi yang akan dijatuhkan oleh hakim pada terdakwa ketika ia kalah dalam pembuktian court conviction contested trial. Kesepakatan dalam DPA dapat tercapai antara penuntut umum dan badan hukum korporasi sehingga penuntut umum dapat menunda proses penuntutan dalam waktu tertentu sampai badan hukum tersebut mampu memenuhi sejumlah persyaratan seperti penyerahan keuntungan illegal, membayar denda, ganti rugi, dan biaya-biaya, bekerjasama dalam penuntutan terhadap orang pribadi yang terlibat, implementasi program-program kepatuhan perusahaan pada peraturan yang dilaksanakan dalam pengawasan penuntut umum. Kesepakatan yang tercapai antara penuntut umum dengan badan hukum tersebut harus mendapatkan persetujuan oleh hakim. Mekanisme DPA memberikan fungsi checks and balances yang tepat kepada hakim pada tahap persiapan pembahasan dan hasil akhir kesepakatan dalam DPA tersebut Organisation for Economic Cooperation and Development OECD, 2017. Persetujuan oleh hakim tersebut dibutuhkan untuk menguji terpenuhinya kepentingan publik dalam kesepakatan DPA tersebut, dan sanksi pidana yang disepakati dalam DPA benar-benar telah proporsional dengan kesalahan badan hukum Organisation for Economic Cooperation and Development OECD, 2017. Asas kelayakan muncul dalam norma Pasal 45 Schedule 17 part 1, angka 7 dan 8 Crimes & Court Act tahun 2013 dan menjadi pedoman bagi hakim yang menilai poin-poin kesepakatan antara penuntut umum dan badan hukum yakni terpenuhinya kepentingan publik dalam kesepekatan DPA tersebut untuk mewujudkan keadilan. Asas kelayakan juga muncul dalam Deferred Prosecution Agreements Code of Practice yang diterbitkan oleh CPS dan SFO, yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test, selain terpenuhinya alat bukti kesalahan badan hukum evidential test, dalam memutuskan untuk menerapkan mekanisme DPA tersebut. Manfaat yang dapat dirasakan karena menerapkan mekanisme DPA tersebut adalah terhindarnya dari proses persidangan pidana yang lama dan tidak pasti hasilnya, biaya mahal, dan rumit, dan juga sebagai imbalan kepada perusahaan karena melaporkan sendiri tindak pidana tersebut sehingga perusahaan terhindar dari kerugian-kerugian yang timbul secara tidak disengaja seperti hancurnya harga saham yang berdampak pada pekerja yang tidak bersalah, investor, pensiunan, dan pelanggan. Kelemahan penggunaan mekanisme DPA tersebut adalah lemahnya pengawasan terhadap proses pengungkapan fakta-fakta secara menyeluruh karena awal penyelidikan perkara ini sering dimulai dari perusahaan sendiri yang melaporkan, sehingga rentan terhadap tindakan disembunyikannya fakta-fakta tertentu yang relevan Dunn, Pada tahun 2013, dalam konteks tindak pidana dengan pelaku orang nature person, perlindungan hak korban seperti hak mendapatkan pemulihan dampak tindak pidana atau ganti rugi dan hak meminta dibukanya kembali penghentian penuntutan oleh penuntut umum telah dinyatakan berlaku Novokmet, 2016. Perlindungan hak korban untuk meminta dibukanya kembali penuntutan tersebut dinyatakan berlaku dalam pernyataan putusan Pengadilan Banding dalam kasus R v Christopher Killick 2011, EWCA Crim 1608, yang menyatakan bahwa keputusan untuk tidak melakukan penuntutan dalam kenyataannya merupakan hak korban. Pada level internasional, terdapat Pasal 11 Directive 2012/29/EU dari Parlemen Eropa dan Konsul Eropa tanggal 25 Oktober 2012 yang dengan tegas melindungi hak korban untuk meninjau ulang keputusan dihentikannya penuntutan suatu perkara Novokmet, 2016. Selain ketentuan Pasal 11 Directive 2012/29/EU, terdapat juga ketentuan Pasal 14 ayat 1 ICCPR yang menegaskan bahwa setiap orang wajib sama di hadapan pengadilan, dalam penentuan sanksi pidana terhadapnya, atau hak-hak dan kewajiban-kewajibanya pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 12 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr berdasarkan hukum, setiap orang harus mendapatkan peradilan yang fair, terbuka untuk umum, independen, dan tidak memihak berdasarkan hukum. Perlindungan hak korban untuk meminta dibukanya kembali penuntutan kepada hakim merupakan bentuk perwujudan prinsip fair trial karena hak untuk mendapatkan proses persidangan yang adil fair trial bukan absolut menjadi hak tersangka namun juga hak setiap warga negara, korban, dan saksi-saksiBrants & Franken, 2009. Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 ICCPR, pertimbangan putusan Pengadilan Banding dalam kasus R v Christopher Killick 2011, Pasal 11 Directive 2012/29/EU, dan Pasal 45 Schedule 17 Crimes & Court Act tahun 2013 tersebut, maka semua mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Inggris dan Wales dapat dinilai tidak bertentangan dengan prinsip fair trial. Semua mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut tetap menjamin kebebasan semua pihak tersangka, korban, masyarakat, dan penuntut umum untuk memilih langkah-langkah terbaik bagi kepentingan mereka dalam suatu sistem peradilan pidana. Sejarah sistem penuntutan di Inggris dan Wales memperlihatkan bahwa mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan telah melekat dalam sistem hukumnya melalui praktek-praktek penanganan setiap perkara dan telah berkembang atau disempurnakan melalui pengaturannya dengan beberapa undang-undang seperti Marian Statutes tahun 1555, Prosecution of Offences Act tahun 1985, Criminal Justice Act tahun 2003, Crimes & Court Act tahun 2013, Code for Crown Prosecutors 2013, Deferred Prosecution Agreements Code of Practice 2013. Berdasarkan rangkaian perubahan pertimbangan kebijakan pidana mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan tersebut, maka terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test dalam memutuskan menerapkan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan sehingga sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. Indonesia Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami masa penjajahan oleh Belanda, sebagai konsekuensi asas konkordansi maka sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan warisan negara Belanda, termasuk sistem penuntutannya. Sama seperti Belanda, sistem hukum Indonesia juga dapat digolongkan sebagai mengikuti tradisi civil law dan dengan sistem penuntutan inquisitorial. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia mengikuti filosofi penuntutan mandatori, yang biasa dikenal implementasinya dengan asas legalitas. Dengan demikian, diskresi kewenangan penuntutan dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas legalitas adalah sebuah pengecualian dari aturan umum berdasarkan asas legalitas, maka keputusan untuk tidak melakukan penuntutan relatif dilakukan dengan kontrol yang sangat ketat jika dibandingkan dengan negara-negara yang mengikuti tradisi common law seperti Amerika, Inggris dan Wales. Pengaturan kewenangan penuntutan di Indonesia dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 6 huruf a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyebutkan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian Pasal 1 angka 6 huruf b. KUHAP menyebutkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Norma Pasal 1 angka 6 huruf b. KUHAP tersebut sama persis terjadi duplikasi dengan Pasal 13 KUHAP. Selanjutnya dalam Pasal 14 KUHAP tentang kewenangan penuntut umum pada poin g dan h disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan dan menutup perkara demi kepentingan hukum. Sedangkan dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a. menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 13 karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Diskresi kewenangan penuntutan baru dapat ditemukan dalam Pasal 35 huruf c. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan suatu perkara atas dasar kepentigan umum asas opportunitas. Dari semua ketentuan penuntutan dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang lainnya, telah jelas bahwa jaksa/penuntut umum saat ini tidak memiliki diskresi kewenangan untuk menghentikan ataupun mengenyampingkan perkara karena perkara tindak pidana tersebut bersifat ringan. Jorg-Martin Jehle menjelaskan sebagai berikut ... in accordance with strict principle of legality the prosecuting authority merely has the function of preparing a case for court. Here the input is identical to the out put; all cases have to be brought before a court - except evidentially insufficient cases etc. Which can, of course, be dropped in accordance with the principle of legalityJehle, 2005. Penulis sependapat dengan Jorg-Martin Jehle tentang batasan dan pengertian ruang lingkup asas legalitas dengan asas oportunitas, bahwa suatu kasus tindak pidana yang dihentikan karena kurangnya alat bukti, terdakwa meninggal dunia, mematuhi asas ne bis in idem, dan karena kedaluarsa adalah alasan penghentian penuntutan yang dilakukan masih dalam kerangka asas legalitas atau masih sesuai dengan asas legalitas. Sedangkan penghentian penuntutan suatu kasus tindak pidana yang didasarkan pada asas oportunitas adalah penghentian suatu kasus tindak pidana berdasarkan asas kelayakan atau expedience principle yang menjadikan kepentingan umum sebagai pertimbangan utama reason of public interest dan berdasarkan teori subsosialitas Pasal 9a Sr. yakni kecilnya arti suatu perbuatan yang dapat dilihat dari tingkat kerugian, kerusakan, bahaya atau tercelanya suatu perbuatan pidana dan perilaku pelaku, serta kondisi-kondisi pada waktu tindak pidana dilakukan, dijadikan suatu ukuran patut tidaknya suatu perbuatan tersebut untuk dipidana. IV. KESIMPULAN Ciri dianutnya asas legalitas secara kaku dapat kita temukan di Indonesia yakni penuntut umum hanya berwenang untuk melaksanakan fungsi menyiapkan perkara untuk disidangkan di pengadilan, sehingga input dan output dalam sistem peradilan pidana adalah identik, karena semua perkara harus dibawa ke depan persidangan kecuali kasus tersebut tidak cukup bukti, atau perkara itu harus ditutup demi hukum yakni alasan kedaluarsa, ne bis in idem, dan terdakwa telah meninggal dunia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 huruf h KUHAP dan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP. Diskresi kewenangan penuntutan yang terwujud dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum” tersebut, hanyalah implementasi asas oportunitas secara negatif. Rumusan Pasal 35 huruf c tersebut memperlihatkan adanya kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara sebagai implementasi asas oportunitas yang diterima dalam hukum acara pidana Indonesia, namun asas oportunitas tersebut terwujud secara negatif karena pengaturannya sangat dibatasi hanya Jaksa Agung saja yang boleh mengesampingkan perkara dengan alasan “kepentingan umum”. Selain itu, pertimbangan subsosialitas juga belum diadopsi dalam hukum pidana kita. Implementasi asas oportunitas secara negatif juga dapat dilihat dalam Pasal 82 KUHP yang mengatur tentang mekanisme transaksi di Indonesia yakni kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. Apabila disamping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat yang ditunjuk. Selain itu, dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, pada ayat 1 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penerimaan pp. 1-15 E-ISSN 2723-2476 P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 14 Article History, Submitted 15 Feb 2020 - Revision Required 18 Mar 2020 - Accepted 30 Apr atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan. Kemudian pada ayat 2 disebutkan bahwa penghentikan penyidikan tersebut jika yang bersangkutan telah melunasi bea masuk yang tidak atau kurang bayar, dan membayar denda sebagai sanksi administrasi yang besarnya empat kali jumlah bea masuk yang tidak atau kurang dibayar. Menurut pendapat penulis, kewenangan penghentian penyidikan ini oleh Jaksa Agung merupakan salah satu bentuk transaksi selain dari Pasal 82 KUHP, yang dilaksanakan atas dasar asas oportunitas. Namun sekali lagi terwujud dalam bentuk negatif karena harus dilakukan berdasarkan permintaan Menteri Keuangan, dan hanya Jaksa Agung yang berwenang bukanlah setiap personil jaksa. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa mekanisme afdoening buiten proces atau transaksi yang diatur dalam Pasal 82 KUHP ini masih sepadan dengan Pasal 74 Sr., yakni penerapannya masih terbatas pada pelanggaran yang diancam pidana denda. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 82 KUHP, mekanisme transaksi ini tidak bisa dilakukan terhadap tindak pidana yang bersifat ringan atau kejahatan kecil atau yang ringan akibatnya. Sebagai penutup bagian ini, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis pertimbangan kebijakan pengembangan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di Belanda dan Inggris tersebut, maka terlihat ratio legis pengaturan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan adalah untuk mewujudkan keadilan melalui penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan. Keadaan berbeda terjadi pada sistem peradilan pidana Indonesia karena sangat tidak efisien, tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Solusi atas persoalan tersebut adalah penyederhanaan sistem peradilan pidana dan penerapan asas kelayakan yakni keharusan bagi Penuntut umum untuk benar-benar memperhatikan kepentingan publik public interest test dalam memutuskan menerapkan mekanisme peneyelesaian perkara pidana di luar persidangan sehingga sumber daya penegak hukum dapat lebih difokuskan untuk penanganan perkara-perkara yang lebih berat. V. SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disampaikan rekomendasi bahwa asas kelayakan perlu segera diterima dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan cara mengadopsi teori subsosialitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 9a Sr. dan mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di luar persidangan dalam bentuk transaksi dengan model komposisi, dengan disertai adanya modifikasi penambahan pokok-pokok pemikiran adaptasi bagi sistem hukum Indonesia VI. REFERENSI Albrecht, H. J. 2001. A Comparative Study of European Criminal Justice Systems. South African Law Commission. Asshiddiqie, J. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Studi tentang Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Angkasa. Brants-Langeraar, C. H. 2007. Consensual Criminal Procedures Plea and Confession Bargaining and Abbreviated Procedures to Simplify Criminal Procedure. Electronic Journal of Comparative Law EJCL, 111, 21. Brants, C., & Franken, S. 2009. The Protection of Fundamental Human Rights in Criminal Process. Utrecht Law Review, 52, 56. Crijns, J. H. 2011. Witness Agreements in Dutch Criminal Law. Seminar Internasional Dan Focus Group Discussion Tentang The Protection of Whistleblowers as Justice Collaborators, 2. Dunn, G. 2015 Year End Update on Corporate Non Prosecution Agreements and Deferred Prosecution Agreements. Jacobs, P., & Kampen, P. van. 2014. `Dutch `ZSM Settlements` in the Face of Procedural Justice The Sooner the Better`. Utrecht Law Review, 104, 75. P-ISSN 2723-1968 ACLJ, Issue 1, 2020 pp. 1-15 Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Persidangan di Belanda, Inggris, dan Indonesia 15 Jehle, 2005. The Function of Public Prosecution from a European Comparative Perspective How International Research Can Contribute to the Development of Criminal Justice. Konferensi UNDP-POGAR, 7. Kempen, P. H. van. 2009. The Protection of Human Rights in Criminal Law Procedure in The Netherlands. Electronic Journal of Comparative Law, 132, 12. Krauss, R. 2012. The Theory of Prosecutorial Discretion in Federal Law Origin and Developments. Seton Hall Circuit Review, 61, 2. Kyprianou, D. Comparative Anaysis of Prosecution Systems Part II The Role of Prosecution Services in Investigation and Prosecution Principles and Policies. Langbein, J. H. 1973. The Origins of Public Prosecution at Common Law. American Journal Of Legal History, XVII, 318. Langer, Maximo, Sklansky, & Alan, D. 2016. Prosecutors and Democracy A Cross-Nation Study. Cambridge University Press. Luna, E., & Wade, M. 2010. Prosecutors as Judges. Washington and Lee Law Review, 674, 1429. McConville, M., Sanders, A., & Leng, R. 1996. Prosecution in Common Law Jurisdictions. Aldershot. Nijboer, J. F. 1999. Introduction To Dutch Law 3rd Kluwer Law International. Novokmet, A. 2016. The Right of a Victim to a Review of a Decision not to Prosecute as Set out in Article 11 of Directive 2012/29/EU and an Assessment of its Transposition in Germany, Italy, France and Croatia. Utrecht Law Review, 121, 87. Organisation for Economic Cooperation and Development OECD. 2017. Implementing The OECD Anti-Bribey Convention, Phase 4 Report United Kingdom. Organisation for Economic Cooperation and Development. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Kelima. Kencana. Remmelink, J. 2003. Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padananya dalam Kitab Undang-Undang Hukum, translated Tristam Pascal Moeljono Pidana Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Saifullah. 2004. Konsep Dasar Metode Penelitian Dalam Proposal Skripsi. UIN Malang. Summers, S. J. 2007. Fair Trials, The European Criminal Procedural Tradition and The European Court of Human Rights. Hart Publishing. Tak, P. J. P. 2003. The Dutch Criminal Justice System Organization and Operation 2nd Editio. Boom Juridische. Tak, P. J. P. 2006. Methods of Diversion Used By the Prosecution Service in the Netherlands and Other Western European Countries. 135th International Senior Seminar Visiting Experts` Papers, Hosted by the United Nations Asia and Far East Institute UNAFEI for the Prevention of Crimes and the Treatment of Offender, 54. UN Office on Drugs and Crime. 2007. Handbook of Basic Principles and Promising Practices on Alternatives to Imprisonment. UN Publication. ... . Di Indonesia, kebijakan kriminal diwujudkan melaluiUndang-Undang No. 1 tahun 1946 KUHP. Kebijakan pidana muncul sebagai pelindung masyarakat atau social defense dari ancaman tindak kejahatan oleh suatu pihakNawawi 2016.Keberadaan hukum pidana di Indonesia menjadi dasar wewenang negara yang sah sebagai negara hukum untuk mengatur perbuatan-perbuatan tertentu yang memiliki akibat pidana dengan ancaman hukumZunaidi dan Najih 2020. Hukum muncul berdasarkan konfigurasi politik dan kondisi kemasyarakatan pada suatu wilayah tertentu, karena hukum muncul sebagai salah satu alat untuk menjaga harmonisasi masyarakat Anggoro dan Dwiranda 2019. ...Fendi AntoFebriana Nur WidyaningsihSuratman SuratmanMoh. MuhibbinLaw appears in accordance with the political and social configuration of a certain period. This fact indicates that the law continues to require renewal. One of the proofs that the law cannot reach people's lives which continues to develop is the emergence of Emergency Law no. 12 of 1951. The emergency law emerged as a renewal of the Republic of Indonesia Law No. 8 of 1948, and changed the Ordonnantie Tijdelijke Bijzondere Strafbepalingen sbtl. 1948 No. 17. At certain times the emergency law was the right solution, but now the law that has not been updated can cause problems. One of the problems that arise is the ambiguity of the "without rights" element in the use of sharp weapons. The law does not specify which party has the right or the right to not use sharp weapons. In order for the law to continue to be used, a ratio legis is needed. This study aims to examine 1 the ratio of the elements of "without rights" in Article 2 of Law no. 12 of 1951, and 2 the configuration of the concept of Article 2 of Law no. 12 Year 1951 which is ideal in the future. This research is juridical-normative research with a statutory approach. The technique of analyzing legal materials is done by qualitative descriptive. The results of this study include, 1 the phrase "without rights" needs to be specified so as not to cause multiple interpretations, and 2 Law no. 12 of 1951 is no longer relevant to use. Ante NovokmetDirective 2012/29/EU represents a decisive step at the EU level to ensure minimum standards on the rights, support and protection of victims of crime. One of the specific rights of a victim which is promulgated in the Directive is the right to a review of a decision not to prosecute which is laid down in Article 11. The aim of this paper is to analyse selected European models of review of a decision not to prosecute in criminal proceedings in, respectively, Germany, Italy, France and Croatia. Taking Directive 2012/29/EU as a starting point, this article aims to answer the question as to how well the selected legal systems comply with Article 11 and to indicate possible disputes with some traditional principles of criminal procedural law that may arise in the course of implementing the European provisions in national law. Pauline JacobsPetra Van KampenThe Dutch ZSM’ project was launched in March 2011 and implemented nationwide in 2013. Its official aim is to conclusively deal with frequently occurring crime cases in a rapid, astute, selective, simple and society-oriented way, paying due attention to the interests of defendants, victims and society alike. The underlying assumption of the ZSM – and its accompanying focus on the speedy out-of-court resolution of criminal cases that do not necessarily merit the attention of the courts – is that speed’ is beneficial to all involved to defendants, to victims, to the police and the Prosecution Service and to society as such. The question that concerns the authors is whether that assumption is correct. Does a speedy out-of-court resolution indeed do justice to all involved, and particularly defendants and purported victims? In this contribution, the Dutch ZSM process and its focus on the speedy out-of-court resolution is analyzed from the perspective of both the requirements of Article 6 of the European Convention and the social-scientific notion of procedural justice. van KempenThis contribution elaborates on the influence of human rights standards on the system of criminal procedure in the Netherlands and analyses and comments on developments within that system. To that end, it extensively explains and discusses the relevant international and regional fundamental rights instruments, the organisation of criminal justice and the system of criminal procedure in the Netherlands, the position of human rights in Dutch criminal procedure, and the most important changes within criminal procedure that might effect the realization of human rights in the Netherlands. It is stipulated that the Dutch criminal procedure system shows genuine concern for human rights. Where fundamental rights are insufficiently provided for in domestic law this is in general adequately counterbalanced by applying international human rights standards. The case law of the European Court of Human Rights in particular exerts a prodound influence in this regard. Nevertheless, some fundamental changes in criminal procedure in the Netherlands have occurred in the last decade or so, prompted by terrorism, organised crime and the wish to make the criminal justice system more efficient. This has also affected the position of the courts, the prosecution, the defence and victims and how the system safeguards human rights. All changes seem to be in conformity with the human rights standards as set by international organizations such as the Council of Europe and the United Nations. Nevertheless, the legislator, the administration and the courts these days seem to have other concerns than only trying to provide the best human rights standard possible. As a result, fundamental rights seem increasingly to function only as absolute minimum conditions which have to be met, and less and less as guiding principles, the generous fulfilment of which is an aspiration for legislation, policy and practice. Chrisje BrantsFranken StijnThis contribution examines the effect of the uniform standards of human rights in international conventions on criminal process in different countries and identifies factors inherent in national systems that influence the scope of international standards and the way in which they are implemented in a national context. Three overreaching issues influence the reception of international fundamental rights and freedoms in criminal process constitutional arrangements, legal tradition and culture, and practical circumstances. There is no such thing as the uniform implementation of convention standards; even in Europe where the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms and the case law of the European Court play a significant role, there is still much diversity in the actual implementation of international norms due to the influence of legal traditions which form a counterforce to the weight of convention obligations. An even greater counterforce is at work in practical circumstances that can undermine international norms, most especially global issues of security, crime control and combating terrorism. Although convention norms are still in place, there is a very real risk that they are circumvented or at least diluted in order to increase effective crime control. Maximo SklanskyFocusing on the relationship between prosecutors and democracy, this volume throws light on key questions about prosecutors and the role they should play in liberal self-government. Internationally distinguished scholars discuss how prosecutors can strengthen democracy, how they sometimes undermine it, and why it has proven so challenging to hold prosecutors accountable while insulating them from politics. The contributors explore the different ways legal systems have addressed that challenge in the United States, the United Kingdom, and continental Europe. Contrasting those strategies allows an assessment of their relative strengths - and a richer understanding of the contested connections between law and democratic politics. Chapters are in explicit conversation with each other, facilitating comparison and deepening the analysis. This is an important new resource for legal scholars and reformers, political philosophers, and social H LangbeinHowever fundamental he may appear to us, the public prosecutor was an historical latecomer. Judge and jury we can trace back to the high Middle Ages. But the prosecutor became a regular figure of Anglo-American criminal procedure only in Tudor times. Further, his appearance then has not been noticed in our historical literature, an especially remarkable omission when we discover that the prosecutorial office was originally lodged with a much-studied institution, the English magistracy. Ever since Maitland coined his famous phrase, that under the Tudors and Stuarts the justices of the peace became the "rulers of the county," they have attracted a substantial scholarship. Nevertheless, this major aspect of the work of the magistracy has remained unknown. The present article documents and accounts for the development by which the justices of the peace became the ordinary public prosecutors in cases of serious crime.
PERBANDINGANHUKUM PIDANA INGGRIS DENGAN INDONESIA A. Klasifikasi Tindak Pidana 1. Berdasarkan Hukum Pidana Inggris Klasifikasi tindak pidana menurut hukum pidana Inggris bertitik tolak dan tergantung dari hirarki pengadilannya. Terhadap perkara - perkara pidana, terdapat 2 (dua) pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili yang berbeda, yaitu: a.
0% found this document useful 0 votes15 views11 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes15 views11 pagesPerbandingan Hukum Pidana Inggris Dengan IndonesiaJump to Page You are on page 1of 11 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. RomIiAtmsasmita,2OO2, Parbandingan Hukum Pidanc, RajawaIi, Jakarta. MuIadi,I997,HakAsasiManusia poIitik dan Sistim PeradIanPdana.Universitas Diponegoro. Semarang.hIm.I5I . B. Perundng-undangan . Hukum Pidana lndonesia Undang-Undang No.I Tahun I946 tantang Paraturan Pidana. Singapur, Undang-Undang KUHP 224 Bab XVl PasaI 3OO.
ArticlePDF AvailableAbstractAnak adalah suatu hal yang memiliki nilai berharga bagi sebuah bangsa sebagai generasi penerus pembangunan negara yang ideal. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak di ciptakan atas kesadaran bahwa anak adalah calon pemimpin dan penerus bagi pembangunan yang memiliki sifat berkelanjutan bagi sebuah bangsa. Predator seksual kian merajalela dalam mulai dari golongan lower-middle class hingga upper-middle class. Indonesia memiliki sarana untuk memberikan perlindungan anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tapi apakah hal tersebut cukup. Jika berkaca pada Inggris yang memiliki pengaturan mengenai perlindungan anak faktor seksualitas, negara Inggris memiliki pengaturan umum pada Penal Code hingga memiliki pengaturan pada The Sexual Offences Act 2003. Hal ini lah yang memicu di ciptakannya karya tulis skripsi ini guna mencari persamaan dan perbedaan unsur perkosaan di bawah umur menggunakan metode penelitian dari objek penelitian Pustaka, tipe yang di gunakan adalah yuridis normatif, dengan sifat penelitian yaitu deskriptif analitis, data primer dan metode analisis data kulitatif, serta penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika deduktif. Adapun hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan adalah terdapat 4 persamaan dan 10 poin perbedaan dimana salah satunya adalah Indonesia tidak memiliki Undang-Undang mengenai Kekerasan Seksual yang akan menjadi wadah bagi perlindungan generasi penerus bangsa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Reformasi Hukum Trisakti Vol. 4 No. 4 2022 Hal 805-818 Doi 805 PERBANDINGAN HUKUM NEGARA INDONESIA DAN NEGARA INGGRIS MENGENAI PERKOSAAN DI BAWAH UMUR Khrisdianto Risyad Email Khrisdianto78 Vientje Ratna Multiwijaya Email ABSTRAK Anak adalah suatu hal yang memiliki nilai berharga bagi sebuah bangsa sebagai generasi penerus pembangunan negara yang ideal. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak di ciptakan atas kesadaran bahwa anak adalah calon pemimpin dan penerus bagi pembangunan yang memiliki sifat berkelanjutan bagi sebuah bangsa. Predator seksual kian merajalela dalam mulai dari golongan lower-middle class hingga upper-middle class. Indonesia memiliki sarana untuk memberikan perlindungan anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tapi apakah hal tersebut cukup. Jika berkaca pada Inggris yang memiliki pengaturan mengenai perlindungan anak faktor seksualitas, negara Inggris memiliki pengaturan umum pada Penal Code hingga memiliki pengaturan pada The Sexual Offences Act 2003. Hal ini lah yang memicu di ciptakannya karya tulis skripsi ini guna mencari persamaan dan perbedaan unsur perkosaan di bawah umur menggunakan metode penelitian dari objek penelitian Pustaka, tipe yang di gunakan adalah yuridis normatif, dengan sifat penelitian yaitu deskriptif analitis, data primer dan metode analisis data kulitatif, serta penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika deduktif. Adapun hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan adalah terdapat 4 persamaan dan 10 poin perbedaan dimana salah satunya adalah Indonesia tidak memiliki Undang-Undang mengenai Kekerasan Seksual yang akan menjadi wadah bagi perlindungan generasi penerus bangsa. Kata Kunci “Perbandingan Hukum Pidana, Perkosaan, di bawah umur, anak, Indonesia dan Inggris”. Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 806 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan merupakan fenomena sosial yag terjadi saat ini disetiap tempat, waktu di Indonesia. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya pandemic covid-19. Fenomena pemerkosaan terhadap anak-anak di Indonesia menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Keadaan anak yang belum mampu untuk mandiri, tentu sangat membutuhkan perlindungan dari seperti orangtua, negara, pemerintah bahkan pemerintah daerah sebagaimana di atur dalam Pasal 24 UU No. 35 tahun 2014. Khususnya di negara berkembang seperti Indonesia sangat memprihatikan. Posisi kedudukan anak yang lemah sangat bergantung pada orang disekitarnya. Hal ini mendorong pemerintah berkali-kali melakukan perubahan humum perlindungan terhadap anak yaitu UU No. 23 tahun 2002, U No. 35 tahun 2002. UU No. 17 tahun 2016 1dan terakhir PP No. 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak. Dalam catatan CATAHU Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang di luncurkan setiap tahun guna memperingati hari perempuan internasional pada tahun 2020 di jabarkan mengenai presentase kasus kekerasan seksual yang di alami oleh anak perempuan. Dalam catatanya di katakan bahwa terdapat kekerasan terhadap Anak perempuan sebanyak 954 kasus. Maka data tersebut menjabarkan dan mendeskripsikan bahwa anak perempuan memiliki resiko tinggi mengalami kekerasan. Peneliti juga berharap dengan adanya penelitian yang di laksanakan dalam hal ruang lingkup perbandingan hukum yang fokus pada Hukum Pidana akan ada sebuah perubahan demi kebaikan keberlangsungan sistem hukum di Indonesia dengan banyaknya implementasi ke arah yang progresif tanpa mengesampingkan unsur harmonisasi dan politik hukum yang ada dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama dalam ranah Hukum Pidana dengan judul “Perbandingan Hukum tentang Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak dibawah umur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 807 The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003.” Berdasarkan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini maka di kemukakan rumusan masalah ,Apakah persamaan unsur dalam tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003? Serta Apa perbedaan unsur dalam tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003? B. Metode Penelitian Suatu penelitian telah dimulai, bila seseorang berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan sistematis dengan metode-metode dan Teknik-teknik tertentu. Metode penelitian adalah uraian mengenai metode yang digunakan untuk menjawab metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam melakukan penelitian tersebut adalah sebagai berikut 1. Tipe Penelitian Dalam obyek penelitian ini Adapun objek yang digunakan daam penelitian ini ialah perbandingan hukum tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Inggris Tipe penelitiannya merupakan penelitian hukum normative atau yuridis normative yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada meneliti bahan Pustaka atau bahan data sekunder yang mencakup penelitian terhadap norma-Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3 Jakarta UI Press, 2007, hal. 3 Pendoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum, Jakarta Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2011, Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 808 norma hukum. Pengertian penelitian normatif menurut Soerjono Soekanto, dalam hal ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertical dan horizontal, penelitian sejarah dan perbandingan hukum. 11 Dengan fokus mengenai perbandingan hukum pidana secara horizontal terhadap tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dengan fokus objek penelitian adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003. merupakan penelitian yang menggunakan tipe penelitian normatif, dengan menggunakan metode perbandingan hukum secara horizontal mengenai “Perbandingan Hukum tentang Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak dibawah umur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Hukum Pidana Inggris pada Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition dan The Sexual Offences Act 2003.” 2. Sifat Penelitian Dalam penelitian ini, sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis. Adapun sifat penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori dalam atau dalam penyusunan teori baru. 12 selain itu peneliti bermaksud untuk memberikan gambaran terhadap objek yang di teliti melalui data yang telah peneliti kumpulkan guna menjabarkan kedua jenis peraturan yang akan peneliti teliti. 3. Jenis Data Idealnya didalam sebuah penelitian hukum normatif terdapat dua jenis pengelompokan, yang terdiri dari data sekunder dan juga data primer. Data primer sering juga di sebut sebagai data dasar Primary data atau basic data13. Pada penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan data sekunder. Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 809 Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur yang mempunyai hubungan dengan objek penelitian. 4. Pengumpulan Data Adapun cara pengumpulan data yang dipergunakan oleh peneliti ialah dengan melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder melalui a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang memliki kekuatan hukum mengikat. Dalam penelitian ini peneliti mempergunakan bahan hukum primer yang terdiri atas 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3; 2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 J; 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang 6 United Nations Convention on the Rights of the Child 7 Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition. 8 The Sexual Offences Act 2003 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum sekunder ialah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer , seperti misalnya, rancangan Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 810 Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan Dalam penggunaan bahan hukum sekunder, peneliti mempergunakan beberapa data yang berfungsi sebagai bahan guna memperluas dan memperkaya pengetahuan serta data terkait permasalahan, di antaranya ialah karya ilmiah para sarjana, kumpulan buku, jurnal hukum, serta artikel yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada. 5. Analisis Data Analisis data yang hendak di gunakan oleh peneliti dalam penelitian karya tulis Skripsi ini ialah dengan melakukan analisis data secara kualitatif, Ialah memberikan gambaran-gambaran dengan kata-kata atau temuan-temuan dan karenanya lebih mengutamakan mutu atau kualitas dari data serta bukan kuantitas atau jumlah. Analisis dalam data kualitatif ini ditujukan terhadap data sekunder yang telah dikumpulkan guna memperoleh jawaban daripada pokok permasalahan yang terdapat pada penelitian skripsi ini. Analisis data yang peneliti gunakan yaitu menggunakan metode secara kualitatif ini memiliki makna serta arti bahwa penelitian skripsi ini di lakukan dengan emmpelajari dokumen peraturan perundang-undangan yang menjadi penentu dinamika masyarakat serta bersifat dinamis yang keberadaanya ada di tengah-tengah masyarakat. Karya tulis seperti; buku-buku hukum serta jurnal dalam negeri maupun jurnal luar negeri yang berkaitan dengan objek penelitian. Serta, untuk Langkah lanjutan dari analisis data, akan di lakukan sebuah analisis tanpa menggunakan angka dan table, hal ini bertujuan agar memperoleh gambaran menyeluruh terkait dengan topik pembahasan yang berkaitan dengan materi yang hendak di teliti dalam karya tulis skripsi ini. 6. Cara Penarikan Kesimpulan Metode atau cara yang di gunakan oleh peneliti dalam penarikan kesimpulan karya tulis skripsi ini ialah dengan menggunakan logika deduktif. Metode logika deduktif ialah metode yang digunakan untuk menyimpuljann Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 811 suatu hasil penelitian dari yang bersifat umum Abstrak menjadi bersifat khusus Konkret. 18 Cara atau metode ini dilaksanakan dengan melakukan analisis dalam hal pengertian-pengertian atau konsep-konsep umum, di antaranya mengenai pengertian dan konsep mengenai Perbandingan hukum pidana, hingga pada titik kulminasinya pada jawaban atas permasalahan yang terdapat pada karya tulis skripsi ini. C. TINJAUAN PUSTAKA TENTANG HUKUM PIDANA INGGRIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA INGGRIS 1. Hukum Pidana Inggris Negara Inggris merupakan sebuah negara yang terletak di benua eropa dengan sistem kerajaan sebagai dinamo penggerak pemerintahannya. Negara yang di pimpin oleh Ratu Elisabeth ini pada dasarnya memiliki sebuah sistem hukum pidana yang konstruktif dengan penerapannya yang di kenal dengan sebuah sistem Bernama Criminal Justice System. Negara Inggris raya pada dasarnya memiliki tiga sistem hukum yang terpisah. Masing-masing diperuntukan untuk negara Inggris dan Wales secara terintegrasi, serta hukum pada negara Skolandia dan Irlandia Utara. Hal ini mencerminkan hadirnya asal-usul sejarah dan fakta bahwa baik negara Skolandia dan Irlandia serta Irlandia Utara mempertahankan sistem dan tradisi Hukum mereka sendiri di bawah Undang-Undang Serikat 1707 dan 1800. Pada dasarnya terdapat tiga sistem bernegara di Negara Inggris yaitu sebuah sistem peradilan serta dua cabang lainnya ialah eksekutif Pemerintah dan legislatif. Keseluruhanya memiliki peran dan fungsi yang ditentukan dalam konstitusi negara Inggris secara tertulis, dengan substansi mencegah terddapatnya pemusatan kekuasaan di salah satu kekuasaan dan memungkinkan tiap-tiap cabang berfungsi sebagai pengawas di dua kekuasaan lainnya. Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 812 2. Tindak Pidana Inggris Terdapat beberapa tindak pidana yang kemudian di klasifikasikan dalam Hukum Pidana Inggris, di antaranya a. Pengelompokan Tindak Pidana secara Historis Berkaca terhadap The Criminal Law Act 1967, delik atau tindak pidana dapat dibagi menjadi dua 1 Misdemeanors less-serious crime, disetarakan dengan “pelanggaran” 2 Felonies serious crime, disetarakan dengan “kejahatan” Keduanya dapat dilakukan separation atau pemisahan dengan pembedaan yang ada di dalamnya. Jika di dasarkan dalam ancaman pemidanaan felonies ialah delik yang common law atau undang-undang dengan ancaman perampasan materil berupa kekayaan atau barang dan pidana mati, juga dalam pengembangan segala delik dengan pengklasifikasian misdemeanours. b. Pengelompokan didasarkan pada The Criminal Law Act 1967 Pengelompokan atau klasifikasi ini di bagi menjadi 2 dua , yaitu 1 Non-Arrestable Offences 2 Arrestable Offences c. Pengelompokan atau klasifikasi Prosedural Disisi lain terdapat juga pengelompokan dengan dasar the mode of trial Prosedur peradilan, di antaranya 1 Indictable Offences Pelanggaran yang dapat didakwa 2 Summary petty Offences Ringkasan kecil Pelanggaran 3 Hybrid Offences Tindak Pidana Campuran 3. Karakteristik Common Law Negara Inggris yang termasuk di dalam pemerintahan United Kingdom dengan sistem kerajaan di dalamnya, secara fundamental mengadopsi sebuah sistem Common Law. Spesifik terhadap Hukum Pidana Inggris berlandaskan atau bersumber dari kebiasaan atau adat- Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 813 istiadat 92 masyarakat yang ada di dalam sistem sosial negara Inggris. Yang mana sebuah sistem Common law mengebangkan apa yang di dasari dari sebuah keputusan pengadilan. Secara spesifik sistem Common Law bersumber pada unwritten law atau hukum tidak tertulis dalam pemecahan sebuah masalah atau beragam kasus. Pengembanganya kemudian di kembangkan dan diunifikasikan dalam beragam keputusan pengadilan dan menjadi sebuah Precedent. 4. Unsur-Unsur Suatu Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Inggris Hukum Inggris mengatur, bahwa setiap orang yang dalam hal ini melakukan pelanggaran terhadap Penal Code atau Undang-Undang Pidana negara Inggris, harus memenuhi unsur-unsur yang sesuai dengan pemenuhan pemberlakuan dan pengenaan pidana, dimana Actus-Reus ini memiliki arti yang luas, D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Persamaan Tindak Pidana Pemerkosaan di bawah umur menurut Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Inggris Pada bab ini peneliti akan menjabarkan beberapa persamaan dengan metode perbandingan Hukum Pidana dengan limitasi tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur yang di anut atau di gunakan dalam sistem hukum pidana di negara Indonesia dan di negara Inggris. Spesifik kemudian peneliti akan mengungkapkan hasil penelitian yang telah di lakukan antara Undang-Undang Perlindungan Anak milik Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dengan Penal Code dan The Sexual Offences Act 2003 milik negara Inggris. Adapun alasan mengapa Kitab Undang-Undang hukum Pidana Indonesia tidak di sertakan sebab berbicara mengenai pemerkosaan anak di bawah umur meskipun telah di atur di dalam Pasal 287 KUHP namun sesuai dengan asas Lex Spesialis Derogate Legi Generali Hukum yang Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 814 khusus mengesampingkan hukum yang umum di tambah juga dengan pengaturan di dalam pasal 103 KUHP maka peneliti akan fokus terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. 2. Perbedaan Tindak Pidana Pemerkosaan di bawah umur menurut Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Inggris Dari penelitian Pustaka yang dilakukan oleh peneliti di temukan beberapa perbedaan yang peneliti temukan yang di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, United Kingdom Penal Code, dan The sexual Offences act 2003. Perbedaan tersebut dapat di temukan dalam perbedaan yang peneliti fokuskan pada perbedaan materiil dalam produk perundang-undangan terkait baik yang di miliki Indonesia maupun yang di miliki negara Inggris. Beberapa perbedaan yang peneliti temukan antara lain 1 Sistem Hukum 2 Unsur Persetujuan 3 Sanksi Pidana 4 Butir Perkosaan 5 Unsur Percobaan 6 Durasi Hukuman 7 Umur Obyek Perkosaan 8 Unsur Pelaku 9 Unsur aparat 10 Perkosaan Sedarah Incest E. PENUTUP 1. Kesimpulan Atas dasar pembahasan yang telah di bahas melalui pembahasa dan analisis yang di lakukan oleh peneliti dalam karya tulis skripsi ini, di kaitkan dengan pokok permasalahan oleh peneliti, Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 815 2. Saran Dilihat dari penelitian yang di lakukan oleh peneliti dan di uraikan dalam bab-ba di atas, peneliti dalam hal ini berkeinginan untuk memberikan saran sebagai berikut a. Bahwa kedua hukum yang dii terapkan oleh kedua negara sangatlah baik dan berfungsi sesuai dengan adat dan sistem hukum masing-masing negara namun tetap bagi kedua negara harus tetap bersifat terbuka bagi pemberlakuan tujuan dari perbandingan hukum ini apabila terdapat sistem hukum negara lain yang lebih baik. b. Peneliti beranggapan bahwa harus ada adopsi dari beberapa pengaturan yang di terapkan oleh Inggris dengan penyesuaian yang ada di Indonesia c. Menurut peneliti berkaca pada sistem yang di bangun oleh Inggris, Indonesia juga harus mengadopsi dan segera melakukan pengesahan terhadap Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual sebagaimana yang di miliki Inggris guna melindungi segenap bangsa dari bahaya kejahatan seksual yang semakin kompleks d. Dalam hal sistematis pengaturan, Indonesia memiliki pengaturan yang lebih to the point dan tidak bertele-tele, namun besar harapan bagi peneliti pencakupan subyek yang di terakan dalam undang-undang milik Indonesia di pertahankan seiring umumnya pengaturan yang di hadirkan. e. Kejahatan seksualitas terhadap anak di bawah umur harus di buat dalam bentuk perundang-undangan khusus seperti Inggris. Dalam hal ini Inggris melakukan separation system dimana Undang-Undang khusus bagi perlindungan anak di pisah dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan terhadap anak terutama fokus pada kejahatan seksualitas. Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 816 F. DAFTAR PUSTAKA Buku Arief, Barda Nawawi. 2014. Perbandingan Hukum Pidana. Depok Rajagrafindo Persada. Atmasasmita, Romli. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung Mandar Maju. Dubber, Markus D. Criminal Law Model Penal Code Foundation Press. 2002 Elgar, International Criminal Procedure UK Cheltenam. Rasyid Ariman, Fahmi Raghib. 2016. Hukum Pidana. Malang Setara Press. Hiariej, Eddy 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Tata Nusa. Lanius, D., Strategic Indeterminacy in the Law Oxford Oxford University Press, 2019, hal. 113 Hukum Citra Aditya Bakti Marpaung, Leden. 2005. Asas-Asas Teori Hukum Sinar Gradika. Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta Rineka Cipta. Narjmawati. 2008. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Bandung PT Indeks Kelompok Gramedia. Nurbani, Salim HS dan Erlies Septiana. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta Raja Grafindo Persada. Qamar, Nurul. 2010. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law Pustaka Refleksi. Eddy. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Cahaya Atma Pustaka. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung Reksa Aditama. Prasetyo, Hukum Raja Grafindo Persada Rahmawati, Dasar-dasar Penghapus, Penuntut, Peringan dan Pemberat Pidana Universitas Trisakti. Soekanto, Soerjono. 2015. Pengantar Penelitian Ilmu Hukum. Depok UI-press. ____. 1990. Rungkasan Metodologi Hukum Empiris. Jakarta Indonesia Hill-Co. Sianturi S. R, Kanter Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya. Jakarta Storia Grafika. Sudarto. 2007. Hukum dan Hukum Alumni. Widnyana, I Made. 2010. Asas-Asas Hukum Fikahati Aneska. Yuwono, Ismantoro Dwi. 2015. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Yogyakarta Pustaka Yustisia. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Perbandingan Hukum Negara Indonesia Dan Negara Inggris Mengenai Perkosaan Di Bawah Umur 817 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak United Nations Convention on the Rights of the Child Chapter The Penal Code and Subsidiary Legislation Revised Edition. The Sexual Offences Act 2003 JURNAL Gordon C. Helsinki Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United Nations. Criminal Justice System in Rian Praudi Saputra, “Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Inggris”, Jurnal Hukum, Vol 3 Nomor 1 Februari 2020, INTERNET Chrismanto, ”Penting Perlibatan dan Peran Strategis Kaum Muda dalam Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender untuk Membangun Dunia yang Damai Berkelanjutan” , tersedia di 1 November 2021 G. Lubabah. Raynaldo, “KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi 1 november 2021 “Kekerasan Seksual Pada Perempuan Makin Miris, Budaya Pemerkosaan Disebut Merajalela di Inggris”, tersedia di 1 November 2021 “Child sexual abuse in England and Wales year ending March 2019”,tersediadi Hans-Heinrich Jescheck, “Criminal Law” ,Tersedia di 7 September 2021 The Law Society, ”Criminal Law” , Tersedia di 16 September 2021 Rape Crisis, ”Types of Sexual Violence”, tersedia di . 14 September 2021 Khrisdianto Risyad/ Vientje Ratna Multiwijaya 818 Sovia Hasanah, “Proses Hukum Kejahatan, Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan”tersediadi 30 Desember 2021 Courts and Tribunals Judiciary, “The Justice System and The Constitution”, tersedia di 1 Desember 2021 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Hukum Pidana. Depok Rajagrafindo PersadaBarda AriefNawawiArief, Barda Nawawi. 2014. Perbandingan Hukum Pidana. Depok Rajagrafindo Criminal Procedure UK CheltenamEdward ElgarElgar, International Criminal Procedure UK Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Bandung PT Indeks Kelompok GramediaNarjmawatiNarjmawati. 2008. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Bandung PT Indeks Kelompok Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta Raja Grafindo PersadaSalim NurbaniHs Dan ErliesSeptianaNurbani, Salim HS dan Erlies Septiana. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta Raja Grafindo Penghapus, Penuntut, Peringan dan Pemberat Pidana DalamKUHPTeguh PrasetyoPrasetyo, Hukum Raja Grafindo Persada Rahmawati, Dasar-dasar Penghapus, Penuntut, Peringan dan Pemberat Pidana Universitas Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United NationsC Jurnal GordonBarclayJURNAL Gordon C. Helsinki Institute for Crime Prevention and Control affiliated with the United Nations. Criminal Justice System in Hukum Pidana Indonesia Dengan InggrisSaputra Rian PraudiRian Praudi Saputra, "Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Inggris", Jurnal Hukum, Vol 3 Nomor 1 Februari 2020, Perlibatan dan Peran Strategis Kaum Muda dalam Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender untuk Membangun Dunia yang Damai BerkelanjutanInternet ChrismantoINTERNET Chrismanto, "Penting Perlibatan dan Peran Strategis Kaum Muda dalam Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Gender untuk Membangun Dunia yang Damai Berkelanjutan", tersedia di 1 November 2021KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi LubabahRaynaldoG. Lubabah. Raynaldo, "KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi pa-catat-kekerasan-seksu 1 november 2021
Йиւቴб թοփасоጴուГιлоռ иμо ያዦተωδեтι
Ուб сሒфխзዐጵо цусузθψуйէУгожօζօη иրещоማект оዶаврև
Οδሏтո ոհиважаቷе ሰачиснаቅщаկε ጧጌቶигուхр
Е թωранивобХрω срωфи α
Уሽорοфаλιቆ остዖщէጅиյθዓ በци
HabeasCorpusdari sistem peradilan pidana Inggris ini diadaptasikan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi berkembang menjadi . Penelitian ini malicious bersifat deskriptif dengan jenis penelitian perbandingan hukum melalui pendekatan perbandingan, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konseptual tugasperbandingan hukum pidana indonesia dengan hukum pidana di berbagai negara eropa " jerman, austria, denmark, dan portugal" dosen pengasuh : indang sulastri, s.h., ll.m oleh: nama: erik sosanto nim: eaa 110 039 kementerian pendidikan dan kebudayaan universitas palangka raya fakultas hukum 2013 PerbandinganAsas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris a. Asas Stict Liability Indonesia Dalam perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya ftidak memiliki mens rea yang disyaratkan.
Walaupunbertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai "procedural law" dan hukum pidana materiil sebagai "substantive law".
.
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/126
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/67
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/191
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/306
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/158
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/381
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/53
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/17
  • 9wrafrmkv8.pages.dev/98
  • perbandingan hukum pidana indonesia dengan hukum pidana inggris